PERMASALAHAN TENTANG PEMUKIMAN

BAB  1
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
               Tempat tinggal berarti rumah (bidang dan sebagainya) tempat orang diam (tinggal).
Menimbang : a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya 
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan
martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;

b.  bahwa dalam rangka pening katan harkat dan martabat,
mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap
keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan
permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu
terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu,
terarah, berencana, dan berkesinambungan;

c.  bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan
perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek
permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;

d.  bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya
dipandang perlu untuk mengatur kemba li ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-
Undang yang baru;

1.2.   Rumusan Masalah
1.     Apa hak dan kewajiban  pemiliki tempat tinggal yang diatur di UU No.4/1992 Tentang Pemukiman?
2.     Bagaimana cara mengkritis fenomena permasalahan rusun dari masa ke masa?
3.     Apa saja hukum  perikatan yang terjalin tentang pemukiman ?

1.3.   Tujuan
1.      Mengerti aspek hukum dan pranata pembangunan  UU No. 4 Tahun 1992  tentang  pemukiman
2.      Mengetahui cara mengkritisi  utnuk permasalahan rusun dari masa kemasa
3.      Memahami kasus apa aja yang masuk ke dalam pelanggaran  hukum pranata pembangunan




BAB  2
ISI

2.1. ASPEK HUKUM PERATURAN UU NO. 4 TAHUN 1992
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu   merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Untuk  menjamin kepastian dan  ketertiban hukum dalam  pembangunan dan  pemilihan setiap pembangunan rumah  hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Sistem penyediaan tanah  untuk  perumahan dan  permukiman harus  ditangani secara  nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Untuk  mewujudkan perumahan dan  permukiman dalam  rangka  memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Pembangunan   di   bidang   perumahan   dan   permukiman   yang   bertumpu   pada   masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.
Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sejalan dengan peran serta  masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan,prasarana

lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN UNDANG - UNDANG NO.4 tahun 1992 tentang Perumahan & Pemukiman. Dalam Undang - Undang ini terdapat 10 BAB (42pasal) antara lain yang mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum ( 2 pasal )
2. Asas dan Tujuan (2 pasal )
3. Perumahan ( 13 pasal )
4. Pemukiman ( 11 pasal )
5. Peran Serta Masyarakat ( 1 pasal )
6. Pembinaan (6 pasal )
7. Ketentuan Piadana ( 2 pasal )
8. Ketentuan Lain - lain ( 2 pasal )
9. Ketentuan Peralihan ( 1 pasal )
10. Ketentuan Penutup ( 2 pasal )

2.2. Permasalahan  Rusun
Tinggal di rumah susun sudah menjadi pilihan sebagian warga di kota besar. Sejumlah alasan melatarbelakangi pilihan masyarakat, seperti; dekat dengan pusat kota, fasilitas lengkap, serta sistem keamanan yang lebih terjamin.

Namun di balik berbagai kemudahan di atas, bukan berarti tinggal di rumah susun bebas dari masalah. Sejumlah keluhan penghuni rumah susun sudah menjadi hal yang jamak seiring dengan semakin banyaknya warga masyarakat tinggal di rumah susun. Jika dicermati, beberapa masalah yang berpotensi muncul dan perlu diantisipasi ketika tinggal di rumah susun.

Pertama; Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3RS). Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, P3RS harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak serah terima unit satuan rumah susun. Ketentuan ini perlu diperjelas, khususnya menyangkut: (1) pengertian serah terima unit disini, apakah dalam pengertian serah terima secara fisik, atau serah terima dalam pengertian legal, ada transfer of title / levering; (2) jangka waktu satu tahun, dihitung sejak unit pertama diserahterimakan atau setelah semua unit diserahterimakan; (3) dalam pembentukan P3RS, difasilitasi pengembang, tetapi pada saat bersamaan, sejumlah pengembang sengaja tidak menjual semua unit rumah susun, sehingga ada kecenderungan dari Pengembang untuk menempatkan orang-orangnya duduk dalam kepengurusan P3RS.

Kedua; Kenaikan besaran service charge. Tinggal di rumah susun dimanjakan dengan berbagai fasilitas, tetapi pada saat bersamaan kepada penghuni dibebani kewajiban membayar service charge. Dari biaya service charge tersebut, badan pengelola dalam melakukan perawatan dan perbaikan berbagai fasilitas yang dinikmati bersama-sama yang ada di kompleks rumah susun.

Persoalan yang sering muncul adalah ketika terjadi kenaikan biaya service charge. Selalu ada tarik menarik antara penghuni dengan P3RS, khususnya tentang perlu tidaknya kenaikan service charge, soal besaran kenaikan service charge dan soal transparansi dan akuntabilitas badan pengelola/P3RS kepada semua penghuni.

Hal yang harus dipertegas adalah dalam menentukan besaran service charge dihitung dengan prinsip full cost recovery atau dimungkinkan badan pengelola memungut keuntungan (margin). Jika diperbolehkan, berapa persen margin yang dapat ditoleransi. Dalam praktik, P3RS menunjuk badan pengelola. Dalam menunjuk badan pengelola dapat berupa penunjukkan langsung atau melalui tender terbuka. Selama ini pada umumnya badan pengelola ditunjuk langsung oleh P3RS dan dalam beberapa kasus badan pengelola berupa PT yang ada afiliasi dengan pengembang yang membangun rumah susun.

Ketiga, Kenaikan besaran tarif listrik. Salah satu kebutuhan pokok penghuni rumah susun adalah listrik. Dari sumber tenaga listrik, pada umumnya mengandalkan pasokan utama dari PT PLN, dan diback up dengan sumber tenaga listrik cadangan berupa generator / genset.

Tipe pasokan tenaga listrik dari PT PLN adalah masuk kategori pelanggan curah, dengan demikian yang berhubungan dengan PT PLN adalah badan pengelola, tidak ada kontrak khusus antara penghuni rusun susun dengan PT PLN.

Soal perbedaan tarif antara tarif yang dikenakan PT PLN kepada badan pengelola, dengan tarif yang dikenaikan badan pengelola kepada penghuni sering menjadi objek sengketa antara penghuni dengan P3RS / badan pengelola.

Dari pihak P3RS berdalih, kelebihan biaya tagihan listrik dipakai untuk pemeliharaan / perbaikan jaringan, serta untuk membiayaan biaya listrik fasilitas bersama. Bisa saja biaya listrik sama dengan tagihan PT PLN, dengan konsekuensi akan dibebankan pada biaya service charge.

Dengan demikian, dalam kasus besaran tarif listrik di rumah susun, perlu ada transparansi dan akuntabilitas, sehingga tidak ada saling curiga antara penghuni dengan P3RS / badan pengelola.

Keempat, Praktik monopoli layanan akses internet. Layanan akses internet khususnya berbasis fixed broadband sudah menjadi kebutuhan penghuni rumah susun, baik dalam konteks untuk kebutuhan komunikasi, layanan data dan tv kabel. Ada dua isu dalam layanan akses internet di rumah susun. Isu pertama, apakah penghuni rumah susun punya pilihan terhadap akses layanan internet di rumah susun. Isu kedua, apabila ada praktik monopoli layanan akses internet, apakah penghuni rumah susun sudah mendapatkan layanan sesuai dengan tarif yang dibayar kepada internet service provider.

Sejumlah rumah susun di Jakarta hanya ada satu pilihan akses internet, biasanya perusahaan satu group dengan pengembang yang membangun rumah susun. Alasan hanya ada satu pilihan akses internet, karena perusahaan tersebut yang membangun jaringan dalam kompleks rumah susun tersebut, sehingga pantas mendapatkan hak eksklusif.

Hal penting yang harus dipastikan, apabila akses internet dimonopoli satu penyedia / provider, tidak menyalahgunakan posisi monopoli untuk memperdaya penghuni rumah susun dalam bentuk tarif yang eksesif, sehingga provider menikmati excessive margin dengan cara yang tidak terbuka.

Kelima, Sertifikasi satuan rumah susun, khususnya sertifikasi rumah susun non-hunian. Undang-undang No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, membedakan rumah susun hunian dan rumah susun campuran, tetapi tidak menjelaskan secara spesifik rumah susun campuran. Undang-undang Rumah Susun juga tidak secara spesifik mengatur rumah susun non-hunian.

Tidak adanya pengaturan khusus rumah susun non-hunian menimbulkan ketidakpastian di lapangan, khususnya menyangkut penerbitan sertifikat satuan rumah susun non-hunian, karena banyak pengembang yang sudah melakukan transaksi dengan konsumen untuk rumah susun non-hunian.

Keenam, Peraturan Daerah tentang Pertelaan. Sertifikat satuan rumah susun tidak dapat diproses karena pemerintah kabupaten / kota di lokasi dibangunnya rumah susun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Pertelaan. Untuk itu harus dipastikan, pemerintah kabupaten / kota dimana lokasi dibangunnya rumah susun sudah memiliki Perda Pertelaan. Ini penting, karena Badan Pertanahan Nasional hanya bisa menerbitkan sertifikat satuan rumah susun apabila lokasi dibangunnya rumah susun sudah memiliki Perda Pertelaan.

BAB  3
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
Menanggapi perihal UU No 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman ialah. Berdasarkan pengertian dari tiap masing-masing definisi mengenai rumah, perumahan, beserta premukiman yang secara luas, saya mengetahui definisi masing-masing dari sumber www.penataanruang.net yang menjelaskan beberapa definisi tersebut. Rumah ialah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau  lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau  lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Rumah/permukiman adalah sebagai pokok dasar yang pada hakekatnya semua manusia di bumi menempati sebuah rumah/permukiman. Dimana permukiman seperti perumahan, komplek, dan lain-lain memang dibutuhkan oleh khal layak yang dapat melangsungkan kesejahteraan hidup mereka bersama keluarga. Wilayah permukiman dapat berpengaruh dengan psikologi terhadap manusia itu sendiri dan sangat perlu sekali permukiman dibuat serta dikembangkan demi kelangsungan hidup mereka dan juga mengidentifikasikan kependudukan manusia di bangsa ini dengan jelas yang dapat berlangsungnya ketertiban umum untuk bangsa dan negara. Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk berperan meningkatkan kesejahteraan wilayah.

3.2.   Referensi

ciptakarya.pu.go.id/dok/hukum/uu/uu_4_1992.pdf. Rabu, 22 November 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analogi Menurut Wayne O. Attoe

HUTAN KOTA KOMPLEK KOPASSUS CIJANTUNG

TUGAS KONSERVASI ARSITEKTUR